Blog ini didedikasikan untuk kepentingan pengetahuan dunia islam dan hal-hal berkaitan dengan keislaman. Semoga jadi ajang diskusi yang sehat buat kita. jazakallahu khairan....

Terbaru | Video | Mp3 Kajian

'Alam Islami

More on this category »
Fiqih “Maka mengapa org2 itu(munafik) hampir2 tidak memahami pembicaraan sedikitpun?”(QS 5:78)

More on this category »
Thibbun Nabawi "Setiap penyakit ada obatnya,...(Al-Hadits)

More on this category »
Bahasa Arab

More on this category »
Konspirasi

More on this category »

Sabtu, 25 Januari 2014

Nasyid tentang Sahabat Nabi "Yaa dzakiran Ashhabikum"




يا ذاكر الاصحاب

ياذاكر الاصحابِ كن متأدباً واعرف عظيم منازلَ الأصحابِ
::
هم صفوةً رفعو بصحبةِ أحمدَ وبذاك قد خصو من الوهابِ
::
هم ناصرو المختار في تبليغهِ فجزاهم الرحمان خير ثوابِ
::
مابال أهل الغي طال لسانهم وتجرأو ورموه بسبابِ
::
سبُ خيار الخلق من لهم العلى ولهم المقام في ذرى الاحسابِ
::
من قبل صرح اعوج عن حقدهِ في سب شيخ متق اوابِ
::
ياثاني الاثنين في الغار الذي شهدة له ايات خير كتابِ
::
واليومَ قد صدع الخبيث بجرأة ووقاحة من سافل كذابِ
::
اذى النبي محمد في عرضهِ سيعمه ذلٌ وشر عقابِ
::
اذى النقية بنت خل المصطفى فليخسئ سعية كسرابِ
::
هاتيك ام المؤمنين وفضلها يروى لنا في سورة الاحزابِ
::
يا ام اني قد كتبت مدافعا والدمع مني كالذى منسابِ
::
من ذاك يجرؤ ان ينال لسانهُ من زوج خير العجم والاعرابِ
::
يامن زعمتم حب آل نبيكم أخذت جماجمكم من الألبابِ
::
تمشون في درب الضلال معتباٍ قد اخفيت عثراته بضبابِ
::
ياذاكر الأصحاب كن متأدباً واعرف عظيم منازل الأصحابِ
::
هم صفوةً رفعو بصحبةِ أحمد وبذاك قد خصو من الوهاب

Sabtu, 11 Mei 2013

Membongkar Ajaran Tasawuf: Ibadah & Agamanya


Sikap Kalangan Tasawuf Dalam Ibadah Dan Agama
Orang-orang tasawuf –khususnya generasi terakhir- memiliki tata cara ibadah yang berbeda dari pedoman para salaf (ulama terdahulu) dan jauh meninggalkan Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka membangun agama dan ibadah mereka berdasarkan simbol-simbol dan istilah yang mereka buat-buat yang tersimpul dalam keterangan berikut :
1. Mereka hanya membatasi pelaksanaan ibadah berdasarkan rasa cinta dan mengabaikan sisi-sisi yang lain seperti rasa takut dan harap.
Sebagaimana yang diucapkan sebagian mereka: “Saya tidak beribadah kepada Allah karena mengharap surga, bukan juga karena takut neraka”.
Memang benar bahwa cinta merupakan hal yang sangat asasi untuk beribadah, akan tetapi ibadah tidak semata-mata berlandaskan cinta sebagaimana yang mereka sangka, dia merupakan satu sisi dari sekian banyak sisi selainnya, seperti rasa takut (khouf), harap (roja), merendah (Dzul), tunduk (Khudhu’), doa dan lain-lain. Ibadah adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :
إِسْمٌ جَامِعٌ لِمَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ اْلأَقْوَالِ وَاْلأَعْمَالِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ
“Ungkapan yang meliputi setiap apa yang Allah cintai dan ridhoi baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang zhahir (tampak) maupun yang bathin (tidak tampak)”.
Al Allamah Ibnu Qoyyim berkata :
وَعِبَـادَةُ الرَّحْمَنِ غَـايَةُ حُبِّهِ
مَـعَ ذُلِّ عَـابِدِهِ هُمَا قُطْبَانِ
وَعَلَيْـهِمَا فَلَكُ الْعِبَـادَةِ دَائِرٌ
مَـا دَارَ حَتَّى قَامَتْ الْقُطْبَانُ

Menyembah Allah merupakan puncak kecintaannya
Bersama kerendahan hamba-Nya, keduanya merupakan dua kutub
Dan di atas keduanya rotasi ibadah berputar.
Dia tidak berputar sebelum keduanya tegak.

Karena itu sebagian salaf berkata:
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِالْحُبِّ وَحْدَهُ فَهُوَ زِنْدِيْقٌ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالرَّجَاءِ وَحْدَهُ فَهُوَ مُرْجِئٌ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالْخَوْفِ وَحْدَهُ فَهُوَ حَرُوْرِيٌّ، وَمَنْ عَبَدَهُ بِالْحُبِّ وَالْخَوْفِ وَالرَّجَاءِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ مُوَحِّدٌ.

“Siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta semata maka dia adalah zindiq [9], dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan raja’ [harapan] semata maka dia adalah murjiah [10] dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan takut semata maka dia adalah haruri [11], dan siapa yang beribadah kepada Allah dengan cinta, harap dan takut, maka dia adalah mu’min sejati”
Dan Allah telah menerangkan bahwa para Nabi dan Rasul-Nya berdoa kepada rabb mereka dengan rasa takut dan harap dan bahwa mereka mengharap rahmat-Nya dan takut atas azab-Nya dan bahwa mereka berdoa kepadanya dengan harap dan cemas.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata : “Karena itu terdapat dalam kalangan (sufi) muta’akhirin (yang datang kemudian) yang berlebih-lebihan dalam masalah cinta hingga bagai orang yang kemasukan setan serta pengakuan-pengakuan yang menafikan ibadah”.
Beliau juga berkata : “Banyak orang-orang yang beribadah dengan pengakuan kecintaannya kepada Allah menempuh jalan yang bermacam-macam karena kebodohan mereka terhadap agama, baik dalam bentuk melampaui batasan-batasan Allah, atau mengabaikan hak-hak Allah atau dengan pengakuan-pengakuan bathil yang tidak ada hakikatnya”. [12]
Dia juga berkata: “Dan diantara mereka ada yang berlebih-lebihan dalam mendengarkan syair-syair cinta dan kerinduan. Memang sesunggunya itulah tujuan mereka, oleh karena itu Allah menurunkan ayat tentang cinta sebagi ujian bagi kecintaan mereka, sebagaimana firmannya :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ [آل عمرن: 31]

“Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu”. (Ali Imran: 31)
Seseorang tidak dikatakan mencintai Allah kecuali bila dia mengikuti rasul-Nya dan ta’at kepadanya. Hal tersebut tidak akan terwujud kecuali dengan merealisasikan ibadah. Masalahnya banyak diantara mereka yang mengaku cinta akan tetapi keluar dari syariat dan sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian setelah itu berhujjah dengan khayalan-khayalan -yang tidak cukup dalam pembahasan ini untuk menyebutkannya- hingga salah seorang diantara mereka menganggap gugurnya perintah atau menghalalkan yang haram baginya”.
Syaikhul Islam juga berkata: “Banyak diantara mereka yang sesat karena mengikuti perkara-perkara bid’ah seperti sikap zuhud, atau beribadah yang tidak berdasarkan ilmu dan cahaya dari Al-Quran dan As-Sunnah, sehingga mereka terjerumus sebagaimana terjerumusnya orang-orang Nashrani yang mengaku cinta kepada Allah tapi menyalahi syariatnya dan meninggalkan mujahadah (bersungguh-sungguh) dija-lannya atau yang semacamnya”.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa hanya mengandalkan sisi cinta tidak dinamakan sesuatu itu sebagai ibadah, bahkan bisa jadi justru akan membawa pelakunya kepada kesesatan dan keluar dari agama.
2. Kalangan sufi pada umumnya tidak menem-puh cara keberagamaan yang benar, yaitu beribadah dengan tidak merujuk kepada Al-Quran dan As-Sunnah serta tidak meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka justru merujuk kepada selera mereka atau apa yang diajarkan guru-guru mereka lewat tarekat-tarekat, atau zikir dan wirid-wirid yang penuh bid’ah. Kadang-kadang mereka berdalil dengan kisah-kisah, mimpi-mimpi atau hadits-hadits maudhu’ [13] untuk mendukung pendapat mereka ketimbang berdalil dari Al-Quran dan As-Sunnah. Itulah landasan yang dibangun di atasnya “agama” sufi.
Sebagaimana diketahui bahwa sebuah ibadah tidak dikatakan ibadah yang shahih (benar) kecuali jika dia dibangun di atas landasan Al Quran dan As Sunnah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
“Mereka –orang-orang Sufi- berpegang teguh dalam agama untuk bertaqarrub kepada rabb mereka seba-gaimana berpegang teguhnya orang-orang nashara terhadap ucapan-ucapan mutasyabih (samar) atau hikayat-hikayat yang tidak diketahui sejauh mana kebenaran yang menceritakannya, seandainyapun benar dia bukanlah orang yang ma’shum. Maka jadilah mereka pengekor dan guru-guru mereka sebagai peletak syariat bagi agama mereka sebagaimana orang-orang Nashrani menjadikan pendeta-pendeta mereka sebagai peletak syariat bagi agama mereka……”

Karena sumber tempat mereka merujuk dalam agama dan ibadah dengan tidak kepada Al-Quran dan As-Sunnah, maka akibatnya mereka terpecah belah berkelompok-kelompok, firman Allah Ta’ala :
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ
[الأنعام: 153]

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya…”. (Al An’am 153)
Jalan Allah hanya satu, tidak terbagi dan tidak terpecah belah, selainnya berarti jalan-jalan yang terpecah belah yang akan menceraiberaikan orang yang menempuhnya dan menjauhkannya dari jalan yang lurus (sirathal mustaqim). Masalah ini berlaku bagi kelompok tasawuf, karena setiap firqah (kelompok) memiliki caranya sendiri-sendiri, berbeda dari firqoh yang lain. Setiap firqah memiliki Syaikh (guru) yang mereka namakan syek tariqah (guru tarekat) yang menentukan kepada mereka pedoman yang berbeda dari pedoman firqah yang lainnya dan menjauh dari siratalmustaqim (jalan yang lurus). Dan Syaikh ini yang mereka sebut Syaikh tariqah memiliki wewenang mutlak untuk menentukan sedang mereka (murid-muridnya) hanya menjalankan apa yang dia ucapkan tanpa boleh membantahnya sama sekali . Bahkan hingga mereka berkata:
الْمُرِيْدُ مَعَ شَيْخِهِ يَكُوْنُ كَالْمَيِّتِ مَعَ غَاسِلِهِ
“Al-Murid [14] dihadapan Syaikhnya bagaikan mayat di-hadapan orang yang memandikannya”.

Kadang-kadang sebagian Syaikh tersebut mengaku bahwa apa yang diperintahkan kepada murid-murid dan pengikut-pengikutnya dia terima langsung dari Allah.
3. Termasuk ajaran tasawuf adalah berpegang teguh pada zikir-zikir atau wirid-wirid yang telah ditetapkan guru-guru mereka.
Mereka menjadikannya sebagai pegangan dan sarana beribadah dengan membacanya bahkan bisa jadi mereka lebih mengutamakannya daripada membaca Al-Quran. Mereka menamakannya sebagai zikrul khashshah (zikir untuk orang-orang khusus). Sedangkan zikir yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah mereka namakan dengan zikirulammah (zikir untuk orang awam). Ucapan لا إله إلا الله bagi mereka adalah zikirulammah, sedangkan zikir khassah-nya adalah kalimat tunggal, yaitu lafaz: الله, dan zikir khassatul khashshah (yang lebih khusus lagi) adalah :هو (Dia).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Siapa yang menyatakan bahwa hal tersebut, yaitu ucapan:
لا إله إلا الله sebagai zikirulammah dan zikirulkhassah-nya adalah kata tunggal (الله), dan zikir yang lebih khususnya lagi (هو) yaitu isim dhomir (kata ganti) maka dia sesat dan menyesatkan. Jika mereka berdalih dengan firman Allah Ta’ala :
قُلِ اللهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُوْنَ[
الأنعام : 91]

“Katakan: “Allah” (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dengan kesesatannya” (Al An’am: 91)
Maka hal itu merupakan kekeliruan mereka yang paling nyata, bahkan merupakan upaya mereka yang mengubah-ubah kata dari makna yang sebenarnya. Karena kata (الله) disebut dalam ayat tersebut sebagai perintah atas pertanyaan dari ayat sebelumnya, yaitu firman Allah Ta’ala :

مَنْ أَنْزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاءَ بِهِ مُوْسَى نُوْراً وَهُدىً لِّلنَّاسِ
[الأنعام: 91]

“Siapakah yang menurunkan kitab Taurat yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia”
hingga firman Allah Ta’ala :
قُلِ اللهُ
“Katakanlah: Allah”
maksudnya Allah-lah yang menurunkan Al-Quran yang dibawa Musa alaihissalam.

Kata Allah merupakan mubtada’ (yang diterangkan) dan khobar-nya (yang menerangkan) adalah kalimat pertanyaan tersebut. Sebagai perbandingan misalnya jika anda bertanya: Siapa tetanggamu ?, maka dia menjawab: Zaid. Sedangkan kata tunggal baik tampak ataupun kata gantinya tidaklah dikatakan kalimat sempurna, bukan juga susunan yang dipahami (jumlah mufidah), tidak juga berkaitan dengan keimanan dan kekufuran, atau perintah dan larangan, tidak ada seorangpun dari ulama pendahulu yang me-nyebutkannya, tidak juga diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga memberikan ma’rifah (pemahaman) yang bermanfaat dalam hati atau keadaan. Dan ketika diberikan gambaran secara mutlak, maka dia tidak mengandung hukum nafy (peniadaan) dan itsbat (penetapan) [15] hingga sebagian mereka yang mengamalkan dengan kontinyu zikir dengan kata tunggal (الله) atau dengan: (هو) terjerumus dalam sebagian pemahamam atheis (tidak mengakui adanya Tuhan) atau semacam kepercayaan manunggaling (kepercayaan bersatunya Allah dengan makhluknya). Sedangkan apa yang disinyalir bahwa sebagian Syaikh berkata :
“Saya takut mati dalam keadaan antara nafy (meniadakan tuhan) dan itsbat (menetapkan Allah)”.
Sesungguhnya kondisi seperti itu tidak akan ditemui oleh yang mengucapkannya. Tidak diragukan bahwa dugaan tersebut terdapat kekeliruan, karena jika seseorang mati dalam kondisi tersebut (antara meniadakan Tuhan dan menetapkan Tuhan) maka dia mati dalam keadaan apa yang dia niatkan atau yang dia maksud, karena amal itu tergantung niatnya. Apalagi ada riwayat shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mentalqinkan orang yang sedang sekarat dengan ucapan : لا إله إلا الله, seraya bersabda :
» مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ «

“Siapa yang akhir ucapannya Laa Ilaaha Illallah, dia masuk syurga”
Seandainya apa yang dia sebutkan terlarang, niscaya orang yang sedang sekarat tidak di-talqinkan dengan kalimat yang dikhawatirkan dia meninggal dalam keadaan tidak terpuji. Karena itu zikir dengan kata tunggal (الله) atau kata ganti (هو) merupakan sesuatu yang jauh meninggalkan sunnah dan termasuk kepada bid’ah serta lebih dekat kepada penyesatan setan. Karena siapa yang mengatakan :
يَا هُوَ يَا هُوَ atau هُوَ هُوَ
atau yang semacamnya, maka tempat kembali dari kata ganti tesebut tidak lain kecuali apa yang digambarkan hatinya, sedangkan hati bisa jadi mendapat petunjuk atau sesat. Pengarang kitab “Al-Fushush” telah menyusun suatu kitab yang diberi nama : “الهُو” (Sang Dia).
Sebagian mereka menyangka bahwa maksud firman Allah Ta’ala :
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللهُ

[آل عمران : 7]
“Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah”. (Ali Imran: 7)
adalah: tidak ada yang mengetahui tafsir dari nama ini yang ternyata dia selain Dia.

Kaum muslimin bahkan para pemikir sepakat bahwa hal tersebut merupakan kebatilan yang nyata. Bisa jadi ada sebagian yang memiliki pemahaman yang sama. Saya katakan kepada sebagian yang mengatakan hal seperti itu bahwa seandainya itu yang anda katakan maka niscaya ayatnya berbunyi: وما يعلم تأويل هو dengan terpisah [16], maksudnya kata (هو) ditulis terpisah dari kata (تأويل) ..
Footnote :
9. Zindiq: Ungkapan yang umumnya diberikan kepada mereka yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafirannya atau kepada mereka yang tidak percaya adanya Tuhan dan hari kiamat (Mu’jam Alfaaz Al-Aqidah).
10. Kelompok yang salah satu keyakinannya adalah bahwa amal perbuatan bukan merupakan syarat keimanan. Seseorang tidak dinyatakan hilang keimanannya –yang pernah dia ikrarkan- walau tidak pernah beramal sama sekali
11. Istilah yang diberikan kepada pengikut Khawarij, mereka adalah kelompok yang sangat tekun beribadah namun mengkafirkan sesama muslim dengan alasan yang tidak dibenarkan syariat. Diantara keyakinan mereka adalah bahwa siapa yang berdosa besar maka dia kafir dan kekal didalam neraka. Kata Haruri berasal dari nama tempat dimana pada saat itu kelompok ini banyak berkumpul.
12. Al-Ubudiah, oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 90, cetakan Riasah Aammah Lil Ifta’
13. Hadits yang dibuat-buat (hadits palsu)
14. Orang yang mengikuti salah satu syekh dalam sebuah tarekat sufi.
15. Kalimat tauhid jika diucapkan secara lengkap (لا إله إلا الله) mengandung arti yang sangat penting; yaitu adanya nafy (meniadakan segala bentuk ketuhanan selain Allah/لا إله) dan Itsbat (hanya mengakui Allah sebagai tuhan/إلا الله). Sedangkan jika diucapakan secara mutlak begitu saja dengan lafaz الله maka arti yang sangat penting tersebut akan hilang.
16. Risalah Al-Ubudiyah, hal 117-118, cet. Al-Ifta’
(Dikutip dari tulisan Asy Syaikh Dr Sholeh Fauzan, judul asli حقيقة التصوف وموقف الصوفية
من أصول العبادة والدين, Edisi bahasa Indonesia Hakikat Sufi dan Sikap Kaum Sufi terhadap prinsip Ibadah dan Agama. Diterbitkan oleh Depag Saudi Arabia)


dikutip dari  http://www.salafy.or.id/


Kamis, 11 April 2013

Adab Majelis Ilmu

Oleh
Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi.

dari situs http://almanhaj.or.id

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ 

Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka membacakan kitabullah dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya. Barangsiapa yang kurang amalannya, maka nasabnya tidak mengangkatnya.

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini merupakan potongan dari hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah oleh :

• Muslim, dalam Shahihnya, Kitab Adz Dzikir Wad Du’a, Bab Fadhlul Ijtima’ ‘Ala Tilawatil Qur’an Wa ‘Ala Dzikr, nomor 6793, juz 17/23. (Lihat Syarah An Nawawi).
• Abu Daud dalam Sunannya, Kitabul Adab, Bab Fil Ma’unah Lil Muslim nomor 4946.
• Ibnu Majah dalam Sunannya, Muqaddimah, Bab Fadhlul Ulama Wal Hatsu ‘Ala Thalabul Ilmi nomor 225.

BIOGRAFI SINGKAT PERAWI HADITS 
Abu Hurairah. Beliau adalah salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Nama lengkapnya Abdurrahman bin Shahr [1] Diberi gelar Abu Hurairah karena beliau menyukai seekor kucing yang dimilikinya. Meskipun baru masuk Islam pada tahun ke tujuh hijriah, akan tetapi keilmuannya diakui oleh banyak sahabat. 

Selama tiga atau empat tahun bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam betul-betul dimanfaatkan oleh beliau Radhiyallahu 'anhu. Senantiasa bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat banyak para shahabat sibuk di pasar atau di tempat yang lain. 

Lelaki yang berperangai lembut dengan kulit putih serta jenggot agak kemerahan ini, sangat gigih menggali ilmu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa memperdulikan rasa lapar yang di alaminya. Sehingga tidaklah mengherankan apabila beliau banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim secara bersama sebanyak 326 hadits. Sedangkan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tanpa Imam Muslim sebanyak 93 hadits dan diriwayatkan oleh Imam Muslim tanpa Imam Bukhari 98 hadits.

MAKNA KOSA KATA HADITS 
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللَّه - (tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Allah), yaitu masjid. Sedangkan madrasah dan tempat-tempat lain yang mendapatkan keutamaan ini, juga dengan dasar hadits yang diriwayatkan Muslim dengan lafadz.

لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمْ الْمَلَائِكَةُ وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمْ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ 

Tidaklah duduk suatu kaum berdzikir kepada Allah, kecuali para malaikat mengelilinginya, rahmat menyelimutinya dan turun kepada mereka ketenangan, serta Allah memujinya di hadapan makhluk yang berada di sisinya. [Riwayat Muslim, no. 6795 dan Ahmad]

السَّكِينَة - , ketenangan. 

وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَة - , diselimuti rahmat Allah.

وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَة - , dikelilingi malaikat rahmah.

وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَه - , Allah memuji dan memberikan pahala di hadapan para malaikatNya.

وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُه - , siapa yang kurang amalannya tidak akan mencapai martabat orang yang beramal sempurna, walaupun memiliki nasab ulama.

FAIDAH HADITS 
Pertama : Arti Penting Majelis Ilmu
Majelis ilmu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari para ulama rabbani. Bahkan mengadakan majelis ilmu merupakan perkara penting yang harus dilakukan oleh seorang ‘alim. Karena hal itu merupakan martabat tertinggi para ulama rabbani, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

مَاكَانَ لِبَشَرٍ أَن يُؤْتِيَهُ اللهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللهِ وَلَكِن كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:"Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia berkata):"Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. [Ali Imran : 79].

Hal inipun dilakukan Rasulullah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan kita untuk menghadiri majelis ilmu. Dengan sabdanya,

إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ 

Jika kalian melewati taman syurga maka berhentilah. Mereka bertanya,”Apakah taman syurga itu?” Beliau menjawab,”Halaqoh dzikir (majlis Ilmu). [Riwayat At Tirmidzi dan dishahihkan Syeikh Salim bin Ied Al Hilali dalam Shahih Kitabul Adzkar 4/4].

Demikian juga para salafus shalih sangat bersemangat mengadakan dan menghadirinya. Oleh karena itu kita dapatkan riwayat tentang majelis ilmu mereka. Di antaranya majelis Abdillah bin Mas’ud di Kufah, Abu Hurairah di Madinah, Imam Malik di masjid Nabawi, Syu’bah bin Al Hajjaj, Yazid bin Harun, Imam Syafi’i, Imam Ahmad di Baghdad, Imam Bukhari dan yang lainnya. 

Kedua : Faidah dan Keutamaan Majelis Ilmu.
Di antara faidah majelis ilmu ialah :
• Mengamalkan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mencontoh jalan hidup para salaf shalih.
• Mendapatkan ketenangan.
• Mendapatkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala
• Dipuji Allah di hadapan para malaikat.
• Mengambil satu jalan mendapatkan warisan para Rasul.
• Mendapatkan ilmu dan adab dari seorang alim.

Ketiga : Adab Majelis Ilmu.
Perkara yang harus diperhatikan dan dilakukan agar dapat mengambil faidah dari majelis ilmu ialah :

• Ikhlas.
Hendaklah kepergian dan duduknya seorang penuntut ilmu ke majelis ilmu, hanya karena Allah semata. Tanpa disertai riya’ dan keinginan dipuji orang lain. Seorang penuntut ilmu hendaklah bermujahadah dalam meluruskan niatnya. Karena ia akan mendapatkan kesulitan dan kelelahan dalam meluruskan niatnya tersebut. Oleh karena itu Imam Sufyan Ats Tsauri berkata,“Saya tidak merasa susah dalam meluruskan sesuatu melebihi niat.”[2] 

•Bersemangat Menghadiri Majelis Ilmu.
Kesungguhan dan semangat yang tinggi dalam menghadiri majelis ilmu tanpa mengenal lelah dan kebosanan sangat diperlukan sekali. Janganlah merasa cukup dengan menghitung banyaknya. Akan tetapi hitunglah berapa besar dan banyaknya kebodohan kita. Karena kebodohan sangat banyak, sedangkan ilmu yang kita miliki hanya sedikit sekali.

Lihatlah kesemangatan para ulama terdahulu dalam menghadiri majelis ilmu. Abul Abbas Tsa’lab, seorang ulama nahwu berkomentar tentang Ibrahim Al Harbi,“Saya tidak pernah kehilangan Ibrahim Al Harbi dalam majelis pelajaran nahwu atau bahasa selama lima puluh tahun”. 

Lantas apa yang diperoleh Ibrahim Al Harbi? Akhirnya beliau menjadi ulama besar dunia. Ingatlah, ilmu tidak didapatkan seperti harta waris. Akan tetapi dengan kesungguhan dan kesabaran.

Alangkah indahnya ungkapan Imam Ahmad bin Hambal,“Ilmu adalah karunia yang diberikan Allah kepada orang yang disukainya. Tidak ada seorangpun yang mendapatkannya karena keturunan. Seandainya didapat dengan keturunan, tentulah orang yang paling berhak ialah ahli bait Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ”. Demikian juga Imam Malik, ketika melihat anaknya yang bernama Yahya keluar dari rumahnya bermain,“Alhamdulillah, Dzat yang tidak menjadikan ilmu ini seperti harta waris”.

Abul Hasan Al Karkhi berkata,“Saya hadir di majelis Abu Khazim pada hari Jum’at walaupun tidak ada pelajaran, agar tidak terputus kebiasanku menghadirinya”.

Lihatlah semangat mereka dalam mencari ilmu dan menghadiri majelis ilmu. Sampai akhirnya mereka mendapatkan hasil yang menakjubkan.

• Bersegera Datang Ke Majelis Ilmu Dan Tidak Terlambat, Bahkan Harus Mendahuluinya Dari Selainnya.
Seseorang bila terbiasa bersegera dalam menghadiri majelis ilmu, maka akan mendapatkan faidah yang sangat banyak. Sehingga Asysya’bi ketika ditanya,“Dari mana engkau mendapatkan ilmu ini semua?”, ia menjawab,“Tidak bergantung kepada orang lain. Bepergian ke negeri-negeri dan sabar seperti sabarnya keledai, serta bersegera seperti bersegeranya elang”.[3] 

• Mencari Dan Berusaha Mendapatkan Pelajaran Yang Ada Di Majelis Ilmu Yang Tidak Dapat Dihadirinya.
Terkadang seseorang tidak dapat menghadiri satu majelis ilmu karena alasan tertentu. Seperti : sakit dan yang lainnya. Sehingga tidak dapat memahami pelajaran yang ada dalam majelis tersebut. Dalam keadaan seperti ini hendaklah ia mencari dan berusaha mendapatkan pelajaran yang terlewatkan itu. Karena sifat pelajaran itu seperti rangkaian. Jika hilang darinya satu bagian, maka dapat mengganggu yang lainnya.

• Mencatat Fidah-Faidah Yang Didapatkan Dari Kitab.
Mencatat faidah pelajaran dalam kitab tersebut atau dalam buku tulis khusus. Faidah-faidah ini akan bermanfaat jika dibaca ulang dan dicatat dalam mempersiapkan materi mengajar, ceramah dan menjawab permasalahan. Oleh karena itu sebagian ahli ilmu menasihati kita. Jika membeli sebuah buku, agar tidak memasukkannya ke perpustakaan. Kecuali setelah melihat kitab secara umum. Caranya dengan mengenal penulis. Pokok bahasan yang terkandung dalam kitab dengan melihat daftar isi dan membuku-buka sesuai dengan kecukupan waktu sebagian pokok bahasan kitab.

• Tenang Dan Tidak Sibuk Sendiri Dalam Majelis Ilmu.
Ini termasuk adab yang penting dalam majelis ilmu. Imam Adz Dzahabi menyampaikan kisah Ahmad bin Sinan, ketika beliau berkata,“Tidak ada seorangpun yang bercakap-cakap di majelis Abdurrahman bin Mahdi. Pena tak bersuara. Tidak ada yang bangkit. Seakan-akan di kepala mereka ada burung atau seakan-akan mereka berada dalam shalat” [4]. Dan dalam riwayat yang lain,“Jika beliau melihat seseorang dari mereka tersenyum atau berbicara, maka dia mengenakan sandalnya dan keluar”.[5] 

• Tidak Boleh Berputus Asa.
Terkadang sebagian kita telah hadir di suatu majelis ilmu dalam waktu yang lama. Akan tetapi tidak dapat memahaminya kecuali sedikit sekali. Lalu timbul dalam diri kita perasaan putus asa dan tidak mau lagi duduk disana. Tentunya hal ini tidak boleh terjadi. Karena telah dimaklumi, bahwa akal dan kecerdasan setiap orang berbeda. Kecerdasan tersebut akan bertambah dan berkembang karena dibiasakan. Semakin sering seseorang membiasakan dirinya, maka semakin kuat dan baik kemampuannya. Lihatlah kesabaran dan keteguhan para ulama dalam menuntut ilmu dan mencari jawaban satu permasalahan! Lihatlah apa yang dikatakan Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syinqiti, “Ada satu masalah yang belum saya pahami. Lalu saya kembali ke rumah dan saya meneliti dan terus meneliti. Sedangkan pembantuku meletakkan lampu atau lilin di atas kepala saya. Saya terus meneliti dan minum the hijau sampai lewat 3/4 hari, sampai terbit fajar hari itu”. Kemudian beliau berkata,“Lalu terpecahlah problem tersebut”.

Lihatlah bagaimana beliau menghabiskan harinya dengan meneliti satu permasalahan yang belum jelas baginya.

• Jangan Memotong Pembicaraan Guru Atau Penceramah.
Termasuk adab yang harus diperhatikan dalam majelis ilmu yaitu tidak memotong pembicaraan guru atau penceramah. Karena hal itu termasuk adab yang jelek. Rasulullah n mengajarkan kepada kita dengan sabdanya.

ليس منا من لم يجل كبيرنا و يرحم صغيرنا و يعرف لعالمنا حقه

Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama. [Riwayat Ahmad dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’]. 

Imam Bukhari menulis di Shahihnya, bab Orang yang ditanya satu ilmu dalam keadaan sibuk berbicara, hendaknya menyempurnakan pembicaraannya. Kemudian menyampaikan hadits.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ فَمَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ قَالَ أَيْنَ أُرَاهُ السَّائِلُ عَنْ السَّاعَةِ قَالَ هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ

Dari Abu Hurairah, beliau berkata,“Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di majelis menasihati kaum, datanglah seorang A’rabi dan bertanya,”Kapan hari kiamat?” (Tetapi) beliau terus saja berbicara sampai selesai. Lalu (beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam) bertanya,“Mana tampakkan kepadaku yang bertanya tentang hari kiamat?” Dia menjawab,”Saya, wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” Lalu beliau berkata, “Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat”. Dia bertanya lagi, “Bagaimana menyia-nyiakannya?” Beliau menjawab, “Jika satu perkara diberikan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat”. [Riwayat Bukhari].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ini berpaling dan tidak memperhatikan penanya untuk mendidiknya.

• Beradab Dalam Bertanya.
Bertanya adalah kunci ilmu. Juga diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya,

فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. [An Nahl : 43].

Demikian pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan, bahwa obat kebodohan yaitu dengan bertanya, sebagaimana sabdanya,

أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ 

Seandainya mereka bertanya! Sesungguhnya obatnya kebodohan adalah bertanya. [Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi dan dishahihkan Syeikh Salim Al Hilali dalam Tanqihul Ifadah Al Muntaqa Min Miftah Daris Sa’adah, hal. 174].

Imam Ibnul Qayim berkata,”Ilmu memiliki enam martabat. Yang pertama, baik dalam bertanya …… Ada di antara manusia yang tidak mendapatkan ilmu, karena tidak baik dalam bertanya. Adakalanya, karena tidak bertanya langsung. Atau bertanya tentang sesuatu, padahal ada yang lebih penting. Seperti bertanya sesuatu yang tidak merugi jika tidak tahu dan meninggalkan sesuatu yang mesti dia ketahui.”[6]

Demikian juga Al Khathib Al Baghdadi memberikan pernyataan,”Sepatutnyalah rasa malu tidak menghalangi seseorang dari bertanya tentang kejadian yang dialaminya.”[7]

Oleh karena itu perlu dijelaskan beberapa adab yang harus diperhatikan dalam bertanya, diantaranya:

1. Bertanya perkara yang tidak diketahuinya dengan tidak bermaksud menguji.
Hal ini dijadikan syarat pertanyaan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya.

فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui. [An Nahl : 43].

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan syarat pertanyaan adalah tidak tahu. Sehingga seseorang yang tidak tahu bertanya sampai diberi tahu. Tetapi seseorang yang telah mengetahui suatu perkara diperbolehkan bertanya tentang perkara tersebut, untuk memberikan pengajaran kepada orang yang ada di majelis tersebut. Sebagaimana yang dilakukan Jibril kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Jibril yang mashur.

2. Tidak boleh menanyakan sesuatu yang tidak dibutuhkan, yang jawabannya dapat menyusahkan penanya atau menyebabkan kesulitan bagi kaum muslimin.
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang dalam firmanNya,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَسْئَلُوا عَنْ أَشْيَآءَ إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِن تَسْئَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْءَانُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللهُ عَنْهَا وَاللهُ غَفُورٌ حَلِيمُُ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah mema'afkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. [Al Maidah : 101].

Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ

Seorang Muslim yang paling besar dosanya adalah orang yang bertanya sesuatu yang tidak diharamkan, lalu diharamkan karena pertanyaannya. [Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad].

Oleh karena itulah para sahabat dan tabi’in tidak suka bertanya tentang sesuatu kejadian sebelum terjadi. Rabi’ bin Khaitsam berkata,“Wahai Abdullah, apa yang Allah berikan kepadamu dalam kitabnya dari ilmu maka syukurilah, dan yang Allah tidak berikan kepadmu, maka serahkanlah kepada orang ‘alim dan jangan mengada-ada. Karena Allah l berfirman kepada NabiNya,

قُلْ مَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَآأَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ 

Katakanlah (hai Muhammad),"Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al Qur'an ini, tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al Qur'an setelah beberapa waktu lagi. [Shad : 86-88].[8] 

3. Diperbolehkan bertanya kepada seorang ‘alim tentang dalil dan alasan pendapatnya.
Hal ini disampaikan Al Khathib Al Baghdadi dalam Al Faqih Wal Mutafaqih 2/148 ,“Jika seorang ‘alim menjawab satu permasalahan, maka boleh ditanya apakah jawabannya berdasarkan dalil ataukah pendapatnya semata”.

4. Diperbolehkan bertanya tentang ucapan seorang ‘alim yang belum jelas. Berdasarkan dalil hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata,

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَلَمْ يَزَلْ قَائِمًا حَتَّى هَمَمْتُ بِأَمْرِ سَوْءٍ قُلْنَا وَمَا هَمَمْتَ قَالَ هَمَمْتُ أَنْ أَقْعُدَ وَأَدَعَهُ

Saya shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau memanjangkan shalatnya sampai saya berniat satu kejelekan? Kami bertanya kepada Ibnu Mas’ud,“Apa yang engkau niatkan?” Beliau menjawab, “Saya ingin duduk dan meninggalkannya”. [Riwayat Bukhari dan Muslim].

5. Jangan bertanya tentang sesuatu yang telah engkau ketahui jawabannnya, untuk menunjukkan kehebatanmu dan melecehkan orang lain.

• Mengambil Akhlak Dan Budi Pekerti Gurunya.
Tujuan hadir di majelis ilmu, bukan hanya terbatas pada faidah keilmuan semata. Ada hal lain yang juga harus mendapat perhatian serius. Yaitu melihat dan mencontoh akhlak guru. Demikianlah para ulama terdahulu. Mereka menghadiri majelis ilmu, juga untuk mendapatkan akhlak dan budi pekerti seorang ‘alim. Untuk dapat mendorong mereka berbuat baik dan berakhlak mulia. 

Diceritakan oleh sebagian ulama, bahwa majelis Imam Ahmad dihadiri lima ribu orang. Dikatakan hanya lima ratus orang yang menulis, dan sisanya mengambil faidah dari tingkah laku, budi pekerti dan adab beliau.[9]

Abu Bakar Al Muthaawi’i berkata,“Saya menghadiri majelis Abu Abdillah – beliau sedang mengimla’ musnad kepada anak-anaknya- duabelas tahun. Dan saya tidak menulis, akan tetapi saya hanya melihat kepada adab dan akhlaknya”. [10]

Demikianlah perihal kehadiran kita dalam majelis ilmu. Hendaklah bukan semata-mata mengambil faidah ilmu saja, akan tetapi juga mengambil semua faidah yang ada. 

Demikian sebagian faidah yang dapat diambil dari hadits ini. Mudah-mudahan bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun VI/1423H/2002M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Para ulama’ berbeda pendapat mengenai nama asli beliau. Pendapat terkuat, beliau bernama Abdurrahman bin Shahr
[2]. Lihat Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim, hal.68. 
[3]. Lihat Rihlah Fi Thalabil Hadits, hal.196.
[4]. Tadzkiratul Hufadz 1/331
[5]. Siyar A’lam Nubala 4/1470.
[6]. Miftah Daris Sa’adah 1/169. 
[7]. Al Faqiih Wal Mutafaaqih 1/143.
[8]. Jami’ Bayanil Filmi Wa Fadhlihi 2/136.
[9]. Siyar A’lam Nubala 11/316.
[10]. Ibid. 11/316

Senin, 04 Februari 2013

Ummu Sulaim Al Ghumaisha binti Milhan


Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Aku masuk ke dalam surga, lalu aku mendengar suara langkah orang berjalan. Aku bertanya: ‘Siapa itu?’ Mereka (para malaikat) menjawab: ‘Dia adalah Al Ghumaisha (wanita yang mudah menangis) putri Milhan.”‘ (HR Muslim)[1]
1. Perkawinan Ummu Sulaim Sangat Istimewa
Jabir bin Abdullah mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Diperlihatkan kepadaku surga, lalu aku melihat istrinya Abu Thalhah.” (HR Muslim)[2]
Dalam perkawinannya dengan Abu Thalhah terdapat kisah yang menunjukkan kekuatan iman dan harga dirinya. Dari Tsabit Al Banani, dari Anas, dia berkata: “Abu Thalhah meminang/melamar Ummu Sulaim. Ummu Sulaim berkata: ‘Demi Allah, orang seperti kamu ini, wahai Abu Thalhah, tidak mungkin ditolak. Cuma sayangnya kamu masih kafir, sementara aku adalah wanita muslimah. Tidak halal bagiku kawin denganmu. Tetapi jika kamu mau masuk Islam, maka itulah maskawinku, dan aku tidak akan meminta yang lain lagi kepadamu (padahal Abu Thalhah adalah orang Anshar yang paling kaya karena kebun kurmanya di Madinah).[3] Akhirnya dia masuk Islam dan itulah yang dia jadikan mahar untuk mengawini Ummu Sulaim.” Tsabit Al Banani berkata: “Aku belum pernah melihat seorang wanita sama sekali yang lebih mulia maskawinnya dibandingkan dengan maskawin Ummu Sulaim.” (HR an-Nasa’i)[4] Tepat sekali pilihan Ummu Sulaim. Abu Thalhah akhirnya menjadi salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang paling menonjol, pahlawan yang sangat berani dan sangat pemurah berkorban di jalan Allah.
2. Keutamaan Suami Ummu Sulaim
Anas Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Ketika terjadi Perang Uhud, banyak pasukan Islam yang lari meninggalkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Tetapi, Abu Thalhah tetap bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan dia melindungi nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sebuah tameng miliknya. Abu Thalhah terkenal sebagai seseorang yang mahir dalam urusan memanah dan juga sangat pemberani. Pada waktu itu Abu Thalhah membawa dua atau tiga busur sekaligus. Namun sayang dia kehabisan anak panah. Beruntung pada saat itu ada yang memberinya anak-anak panah. Sementara itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menengok ke luar untuk melihat keadaan pasukannya yang porak poranda. Lalu Abu Thalhah berkata: ‘Wahai Nabiyullah, demi bapak dan ibuku, jangan engkau lakukan itu. Saya tidak ingin engkau menjadi sasaran anak panah musuh, biar leher saya saja yang terkena, asal jangan leher engkau …’ Pedang sempat jatuh dari kedua tangan Abu Thalhah dua atau tiga kali.” (HR Bukhari dan Muslim)[5]
Anas bin Malik berkata: “Abu Thalhah adalah seorang sahabat Anshar yang paling banyak hartanya di Madinah berupa pohon kurma. Hartanya yang paling dia senangi adalah taman Bairuha’ yang letaknya menghadap ke masjid. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam biasa memasuki taman itu dan meminum airnya yang bagus.” Anas berkata: bahwa ketika turun firman Allah yang berbunyi: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai,” Abu Thalhah berusaha menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah berfirman: ‘Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai.’ Harta yang paling aku cintai adalah taman Bairuha’ dan aku ingin menyedekahkannya untuk Allah dengan harapan aku bisa memperoleh kebajikan-Nya dan menjadi simpanan di sisi Allah. Lakukanlah sesuatu, wahai Rasulullah, terhadap taman itu sesuai dengan yang diridhai Allah.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Wah, harta itu banyak mengalirkan pahala kepada pemiliknya atau banyak menghasilkan untung.” (Abdullah ragu): “Dan aku telah mendengar dan paham apa yang baru kamu katakan. Menurutku, sebaiknya kamu berikan saja kepada anggota keluargamu yang terdekat.” Abu Thalhah berkata: “Akan aku laksanakan, wahai Rasulullah.” Lalu Abu Thalhah membagi-bagikan harta yang paling dicintainya itu kepada kaum kerabatnya yang terdekat, dan juga kepada keponakan-keponakannya.” (HR Bukhari dan Muslim)[6]
3. Penuh Perhatian dan Kesabaran terhadap Suami
Anas mengatakan bahwa anak Abu Thalhah dari Ummu Sulaim meninggal dunia, lalu Ummu Sulaim berkata kepada keluarganya: “Jangan kalian ceritakan kepada Abu Thalhah perihal anaknya itu. Biar aku sendiri yang akan bercerita kepadanya.”
Anas berkata: “Ketika Abu Thalhah datang, Ummu Sulaim menghidangkan santap malam kepadanya. Setelah Abu Thalhah makan dan minum dengan puas, Ummu Sulaim pergi ke kamar untuk bersolek secantik mungkin. Abu Thalhah bangkit nafsu birahinya sehingga dia lalu menggaulinya. Setelah melihat Abu Thalhah kenyang dan kebutuhan biologisnya telah terpuaskan, Ummu Sulaim mulai berkata: “Wahai Abu Thalhah, bagaimana menurutmu jika ada satu kaum meminjamkan barangnya kepada suatu keluarga misalnya, kemudian mereka memintanya kembali barang yang dipinjamkan tersebut, apakah keluarga tersebut berhak menolaknya?” Abu Thalhah menjawab: “Tidak.” Ummu Sulaim berkata: “Kalau begitu, tabahkanlah hatimu dengan kematian anakmu.” Abu Thalhah menjadi marah, dia berkata: “Kamu biarkan aku menikmati pelayananmu, kemudian baru kamu beritahukan kepadaku tentang anakku.” Abu Thalhah pergi menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan menceritakan apa yang telah terjadi. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Mudah-mudahan Allah memberi berkah pada malam yang telah kalian lewati dengan manis itu.” Ummu Sulaim kemudian hamil.
Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bepergian dan kebetulan Ummu Sulaim ikut bersama beliau. Apabila memasuki kota Madinah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam biasanya tidak melakukannya di malam hari sehingga harus mengetuk-ngetuk pintu rumah segala. Saat mereka sudah dekat ke Madinah, tiba-tiba Ummu Sulaim merasa sakit karena sudah dekat melahirkan. Abu Thalhah berusaha menolongnya dan menyuruhnya supaya sabar. Sementara itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terus saja berjalan. Abu Thalhah berkata sendiri: “Ya Tuhan, Engkau tahu sendiri bahwa aku senang sekali bisa selalu bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Aku sudah berusaha sabar seperti yang Engkau tahu.” Ummu Sulaim berkata: “Wahai Abu Thalhah, rasanya aku tidak mendapati sesuatu yang biasa aku dapati. Berangkat sajalah kamu!” Sepeninggalnya, kembali Ummu Sulaim merasa sakit seperti mau melahirkan. Ternyata dia memang melahirkan seorang anak laki-laki. Ibuku berkata kepadaku: “Wahai Anas, siapa pun tidak boleh menyusukannya sebelum kamu membawanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam” Pagi-pagi sekali aku bawa anak itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Kebetulan waktu itu aku mendapati beliau sedang membawa besi penyelar (penanda). Begitu melihatku beliau bertanya: “Barangkali saja Ummu Sulaim sudah melahirkan?” Aku jawab: “Benar.” Beliau meletakkan besi penyelar tersebut. Aku bawa anak itu, lalu aku letakkan di pangkuan beliau. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian minta diambilkan sebutir kurma Madinah. Beliau kunyah kurma tersebut di mulutnya sampai hancur, kemudian beliau suapkan ke mulut anak tersebut. Anak tersebut mengecapnya. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Lihatlah, betapa sukanya orang-orang Anshar pada kurma.” Setelah itu beliau mengusap wajah anak tersebut dan memberinya nama Abdullah.” (HR Bukhari dan Muslim)[7]
4. Perhatian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap Ummu Sulaim
Anas bin Malik r.a berkata: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah masuk suatu rumah di Madinah (secara terus menerus) selain rumah Ummu Sulaim, kecuali ke rumah para istri beliau. Ketika hal itu ditanyakan, beliau menjawab: ‘Aku merasa kasihan kepadanya karena saudaranya terbunuh sewaktu bersamaku.’” (HR Bukhari dan Muslim)[8]
Anas Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam apabila lewat di dekat Ummu Sulaim, beliau singgah menemuinya dan mengucapkan salam kepadanya.” (HR Bukhari) [9]
Anas Radhiyallahu ‘Anhu mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang mengunjungi Ummu Sulaim. Lantas Ummu Sulaim menghidangkan kurma dan minyak samin kepada beliau. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Kembalikanlah minyak samin dan kurmamu ke tempatnya masing-masing sebab aku sedang berpuasa. Kemudian beliau pergi ke salah satu pojok rumah, lalu melaksanakan shalat bukan fardu. Beliau memanjatkan doa untuk Ummu Sulaim dan anggota keluarganya.” Lalu Ummu Sulaim berkata: “Wahai Rasulullah, aku meminta sesuatu yang agak khusus.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Apa itu?” Ummu Sulaim berkata: “Pembantumu si Anas. Tidak satu pun yang tinggal dari kebaikan akhirat, begitu pula dunia, kecuali dia berdoa untukku: ‘Ya Allah, beri rezekilah dia harta dan anak yang banyak dan berkahilah dia.’”
(Anas berkata): “Sesungguhnya aku termasuk di antara orang-orang Anshar yang paling banyak memiliki harta dan putriku Umainah (Aminah) menceritakan kepadaku bahwa anak cucuku yang telah dikaburkan sewaktu kedatangan Hajjaj ke Bashrah lebih dari seratus dua puluh orang.” (HR Bukhari) [10]
Anas bin Malik berkata: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah datang ke rumah Ummu Sulaim dan beristirahat tidur di atas tempat tidurnya. Saat itu Ummu Sulaim tidak ada di rumahnya. Pada hari yang lain beliau juga datang lagi dan beristirahat tidur di tempat tidurnya Ummu Sulaim. Kemudian Ummu Sulaim ditemui oleh seorang sahabat dan diberitahu: ‘Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang tidur di rumahmu, di atas tempat tidurmu.’ Ummu Sulaim segera pulang, dia melihat beliau berkeringat, dan keringat beliau terkumpul pada sehelai hamparan kulit yang terdapat di atas tempat tidur. Ummu Sulaim lalu membuka kotak kecil miliknya. Dia kemudian menyeka keringat tersebut dengan sebuah handuk dan memerasnya ke dalam kotak kecil tadi. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terbangun, lalu bertanya: ‘Apa yang sedang kamu kerjakan ini, wahai Ummu Sulaim?’ Dia menjawab: ‘Wahai Rasulullah, aku berharap mencari berkahnya untuk anak-anakku.’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: ‘Kamu benar.’” (HR Muslim) [11]
Anas berkata: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang yang paling baik budi pekertinya, dan aku mempunyai seorang saudara yang bernama Abu Umair. Dia berkata: ‘Aku mengiranya seusia anak sapihan.’ Setiap beliau datang, beliau selalu bertanya: ‘Hai Abu Umair, apa yang dilakukan burung pipit yang selalu dimainkan Abu Umair?’ Kadang-kadang datang waktu shalat sewaktu beliau berada di rumah kami. Maka beliau meminta diambilkan hamparan yang diduduki oleh Abu Umair, kemudian disapu dan disiram sedikit dengan air. Setelah itu beliau berdiri untuk melakukan shalat dan kami pun berdiri di belakang beliau. Kemudian beliau shalat bersama kami.” (HR Bukhari)[12]
5. Perhatian Ummu Sulaim dan Keluarganya terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Anas bin Malik berkata: “Ketika orang-orang Muhajirin tiba di Madinah dari Mekah, mereka tidak memiliki apa-apa. Sementara itu orang-orang Anshar banyak memiliki tanah dan pekarangan. Orang-orang Anshar kemudian membagikan tanah atau pekarangan kepada saudara-saudaranya dan mereka memperoleh bagi hasil sebanyak separuh setiap tahunnya. Pekerjaan dan biaya penggarapannya juga sudah mereka cukupi. Ibu Anas bin Malik (yaitu Ummu Sulaim) memberikan pohon kurmanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam” (HR Bukhari dan Muslim)[13]
Anas berkata: “Aku diajak oleh ibuku menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Separuh selendangnya dikenakannya kepadaku sebagai sarung dan separuh lagi sebagai selempang. Ibuku berkata: ‘Wahai Rasulullah, si kecil Anas ini adalah putraku. Aku serahkan dia kepadamu untuk melayanimu. Maka panjatkanlah doa kepada Allah untuknya.’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun berdoa seraya berkata: ‘Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya.’Anas berkata: ‘Demi Allah, sungguh hartaku sangat banyak, sedangkan anak cucuku sudah lebih dari seratus orang sekarang ini.’” (HR Bukhari)[14]
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu berkata bahwa dia baru berumur sepuluh tahun ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang ke Madinah: “Ibu menasihatiku supaya terus-menerus dan tabah melayani Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Aku sempat melayani beliau selama sepuluh tahun, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal dunia ketika aku berusia dua puluh tahun.” (HR Bukhari)[15]
Anas berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menemuiku ketika aku sedang bermain-main dengan beberapa anak sebayaku. Beliau mengucapkan salam kepada kami, kemudian beliau menyuruhku untuk mengerjakan suatu keperluan.. Hal itu membuat aku terlambat pulang kepada ibuku. Begitu aku datang, ibuku bertanya: ‘Apa yang membuatmu terlambat?’ Aku menjawab: ‘Aku disuruh oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk suatu keperluan.’ Ibuku bertanya: ‘Apa keperluan beliau itu?’ Aku jawab: ‘Itu rahasia.’ Ibuku berkata: ‘Kalau begitu, jangan kamu ceritakan rahasia Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada siapa pun!’ Anas berkata: ‘Demi Allah, andaikata aku boleh menceritakannya kepada seseorang, tentu aku telah menceritakannya kepadamu, wahai Tsabit.’” (HR Muslim)[16]
Anas bin Malik berkata: “Setelah melakukan akad nikah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menemui istrinya. Sementara itu ibuku Ummu Sulaim membuatkan sebaki makanan haisah (yang terbuat dari keju, kurma, dan minyak samin), lalu dia berkata kepadaku: ‘Hai Anas, bawalah makanan ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan katakan: “Ibuku menyuruhku mengantarkan makanan ini kepadamu, dan dia mengucapkan salam kepadamu.” Kemudian katakan kepada beliau: “Ini ada sedikit makanan dari kami untukmu, wahai Rasulullah.”‘ Anas berkata: “Lalu aku pergi membawa makanan itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Sesampainya di tempat beliau, aku berkata: ‘Ibuku mengucapkan salam untukmu dan dia berkata: “Ini ada sedikit makanan dari kami untukmu, wahai Rasulullah.”‘ Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: ‘Letakkanlah dulu makanan itu!’ Kemudian beliau berkata: ‘Pergilah kamu memanggil si fulan, si fulan, si fulan, dan orang-orang yang kamu temui …’” (HR Bukhari dan Muslim)[17]
Anas berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyerang Khaibar … dan kami menaklukkannya dengan pertempuran yang dahsyat. Kami mengumpulkan para tawanan. Tiba-tiba datang seorang prajurit yang bernama Dahyah. Dia berkata: “Wahai Nabiyallah, berilah aku seorang tawanan wanita.” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Pergilah ambil seorang!” Anas berkata: “Lalu Dahyah mengambil tawanan wanita yang bernama Shafiyyah binti Huyay.” Melihat hal itu, prajurit lainnya bergegas melapor kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Nabiyullah, apakah engkau berikan kepada Dahyah, Shafiyyah binti Huyay, seorang pemuka Bani Quraizhah dan an-Nadhir? Dia itu sama sekali tidak pantas kecuali untukmu, wahai Rasulullah!” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Panggil Dahyah bersama wanita itu ke sini!” Lalu Dahyah datang bersama wanita itu. Setelah melihat wanita itu sejenak, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada Dahyah: “Kamu ambil tawanan wanita yang lain saja!” Anas berkata: “Lantas Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerdekakan Shafiyyah binti Huyay, kemudian mengawininya …” Ketika sampai di tengah perjalanan, Ummu Sulaim mempersiapkan dan mendandani Shafiyyah. Menurut riwayat Muslim[18]: “Kemudian beliau menyerahkannya kepada Ummu Sulaim dan diperindah. Shafiyyah disuruh menunggu di rumah Ummu Sulaim selama masa ‘iddah. Kemudian pada suatu malam Ummu Sulaim menyerahkan Shafiyyah kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan diadakanlah acara perkawinan.” (HR Bukhari dan Muslim)[19]
6. Cerdas dan Penuh Tawakkal kepada Allah
Anas bin Malik berkata bahwa Abu Thalhah berkata kepada Ummu Sulaim: “Aku mendengar suara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam demikian lemah. Aku tahu beliau lapar. Apakah engkau mempunyai sesuatu?” Ummu Sulaim menjawab: “Ya.” Lalu Ummu Sulaim mengeluarkan beberapa potong roti dari gandum. Kemudian dia mengambil kerudungnya dan membungkus roti dengan sebagian kerudung itu, lalu dia sisipkan di bawah bajuku, sedangkan sebagian kerudung dia selendangkan ke kepalaku. Kemudian dia menyuruhku pergi ke tempat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam” Anas berkata: “Lalu aku pergi membawa roti tersebut. Aku temukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang duduk di masjid bersama orang banyak. Aku menghampiri mereka. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepadaku: ‘Apakah Abu Thalhah menyuruhmu?’Aku jawab: ‘Ya, benar.’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya lagi: ‘Membawa makanan?’ Aku menjawab: ‘Ya.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada orang-orang yang bersama beliau: ‘Bangunlah kalian semua!’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berangkat bersama mereka, sementara aku berada di hadapan mereka untuk segera memberitahu Abu Thalhah. Maka berkatalah Abu Thalhah: ‘Wahai Ummu Sulaim, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah datang bersama orang banyak, tetapi kita tidak mempunyai makanan yang cukup untuk dihidangkan kepada mereka.’ Ummu Sulaim berkata: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Lalu Abu Thalhah menyongsong Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang dan masuk bersama Abu Thalhah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: ‘Bawa ke sini apa yang ada padamu, wahai Ummu Sulaim!’ Ummu Sulaim datang memberi roti tersebut. Lalu memeras minyak saminnya untuk lauk pauk roti. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendoakan makanan itu. Setelah itu beliau berkata: ‘Persilakanlah sepuluh orang masuk!’ Setelah diizinkan masuk mereka makan sampai kenyang, kemudian keluar. Setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kembali: ‘Persilakan masuk sepuluh orang lagi.’ Setelah diizinkan, mereka pun masuk dan makan sampai kenyang, kemudian pergi. Setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kembali memerintahkan: ‘Persilakan masuk sepuluh orang lagi.’ Setelah diizinkan, mereka pun masuk dan makan sampai kenyang. Semua orang makan sampai kenyang hingga jumlah mereka mencapai tujuh puluh atau delapan puluh orang.’ Dan menurut riwayat Muslim[20]: “Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam makan bersama Abu Thalhah, Ummu Sulaim, dan Anas bin Malik. Ternyata masih tersisa, maka kami memberikannya kepada tetangga-tetangga kami.” (HR Bukhari dan Muslim)[21]
7. Ikut Berbai’at dan Menepati Janji
Ummu Athiyyah Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Ketika melakukan bai’at, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menuntut kami untuk tidak meratap. Tidak ada wanita yang menepati bai’at (janji)nya kecuali lima orang saja, yaitu: Ummu Sulaim, Ummu Al ‘Ala’, putri Abu Sabrah, istri Mu’adz, dan dua orang wanita lagi.” (HR Bukhari dan Muslim)[22]
8. Memiliki Sifat Malu yang Positif
Ummu Salamah berkata bahwa Ummu Sulaim datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran. Apakah wanita wajib mandi apabila dia mimpi (bersetubuh)?” Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Apabila wanita itu melihat air (mani).” (HR Bukhari dan Muslim)[23]
Benar sekali Aisyah, Ummul Mukminin, yang berkata: “Sebaik-baik kaum wanita adalah kaum wanita Anshar. Mereka tidak dihalangi oleh rasa malu dalam mendalami masalah agama.” (HR Muslim)[24]
9. Ikut Serta dalam Berjihad
Anas Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Ketika terjadi Perang Uhud, banyak pasukan Islam yang lari meninggalkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Aku melihat Aisyah binti Abu Bakar dan Ummu Sulaim sibuk sekali melayani pasukan. Mereka menyingsingkan pakaian sehingga kelihatan olehku gelang-gelang kaki mereka. Dengan langkah cepat mereka mengangkat girbah air di atas punggung mereka untuk memberi minum pasukan Islam. Kemudian pergi lagi mengisi girbah air tersebut, lalu datang lagi untuk memberi minum pasukan sampai isi girbah itu kosong.” (HR Bukhari dan Muslim)[25]
Anas bin Malik berkata: “Pernah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berperang dengan mengajak Ummu Sulaim. Bahkan, beberapa wanita Anshar juga pernah ikut berperang bersama beliau. Tugas wanita-wanita Anshar itu adalah memberi minum dan mengobati pasukan yang terluka (di antara peperangan yang diikuti oleh Ummu Sulaim adalah Perang Khaibar.) [26] (HR Muslim)[27]
Anas mengatakan bahwa pada Perang Hunain, Ummu Sulaim terlihat membawa sebilah parang. Ketika Abu Thalhah melihatnya, dia melaporkan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, lihat Ummu Sulaim itu. Dia membawa sebilah parang.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu bertanya kepada Ummu Sulaim: “Untuk apa parang itu?” Ummu Sulaim menjawab: “Untuk aku gunakan sebagai alat berperang. Begitu ada salah seorang pasukan musyrik yang mendekatiku, akan aku tikam perutnya.” Mendengar jawaban Ummu Sulaim itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tersenyum. Ummu Sulaim lalu berkata: “Wahai Rasulullah, bunuhlah orang-orang Thulaqa’ (Thulaqa’ adalah penduduk Mekah yang masuk Islam setelah penaklukan kota Mekah. Dinamakan thulaqa’ atau orang-orang bebas karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membebaskan mereka dengan mengatakan: antumuth thulaqa’. Ketika peristiwa ini terjadi, Islam mereka masih lemah, sehingga Ummu Sulaim menduga mereka orang-orang munafik yang pantas dibunuh, karena mereka lari dari peperangan) yang setelah kamu bebaskan, kini mereka lari darimu.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Wahai Ummu Sulaim, sesungguhnya Allah telah berlaku cukup dan berbuat baik.” (HR Muslim)[28]


[1] Muslim, Kitab: Keutamaan-keutamaan para sahabat, Bab: Di antara keutamaan Ummu Sulaim ibunya Anas dan Bilal Radhiyallahu ‘Anhu, jilid 7, hlm. 145.
[2] ibid
[3] Yang terdapat di dalam kurung diambil dari hadits no. 148.
[4] Shahih Sunan an-Nasa’i, Kitab: Nikah, Bab: Perkawinan dalam Islam, hadits no. 3133, jilid 2, hlm. 703.
[5] Bukhari, Kitab: Manaqib, Bab: Manaqib Thalhah Radhiyallahu ‘Anhu, jilid 8, hlm. 128. Muslim, Kitab: Jihad, Bab: Pertempuran kaum wanita bersama kaum pria, jilid 5, hlm. 196
[6] Bukhari, Kitab: Minuman, Bab: Meminta minum air tawar, jilid 12, hlm. 175. Muslim, Kitab: Zakat, Bab: Keutamaan memberikan nafkah dan sedekah kepada karib kerabat dan suami, jilid 3, hlm. 79.
[7] Bukhari, Kitab: Jenazah, Bab: Orang yang tidak terlihat sedihnya ketika ditimpa musibah, jilid 3, hlm. 412. Kitab: Aqiqah, Bab: Memberi nama anak pada pagi hari dia dilahirkan, jilid 12, hlm 6. Muslim, Kitab: keutamaan-keutamaan para sahabat, Bab: Di antara keutamaan Abu Thalhah al-Anshari, jilid 7, hlm. 145.
[8] Bukhari, Kitab: Jihad dan peperangan, Bab: Keutamaan orang yang mempersiapkan orang yang hendak berperang atau menggantikannya (di rumah) dengan baik, jilid 6 hlm. 390 Muslim, Kitab: Keutamaan-keutamaan para sahabat, Bab: di antara keutamaan Ummu Sulaim, ibunya Anas bin Malik, jilid 7, hlm 145.
[9] Bukhari, Kitab: Nikah, Bab: Hadiah untuk pengantin lelaki, jilid 11, hlm. 134.
[10] Bukhari, Kitab: Puasa, Bab: Orang yang berziarah ke tempat suatu-kaum, tetapi tidak berbuka di tempat mereka, jilid 5, hlm. 131.
[11] Muslim, Kitab: Keutamaan-keutamaan, Bab: Wanginya keringat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mencari berkah padanya, jilid 7, hlm. 81.
[12] Bukhari, Kitab: Adab, Bab: Kunyah (gelar) untuk anak kecil dan lelaki yang belum punya anak, jilid 13, hlm. 204.
[13] Bukhari, Kitab: Hibah, Bab: Keutamaan pemberian, jilid 6, hlm. 171. Muslim, Kitab: Jihad, Bab: Orang-orang Muhajirin mengembalikan kepada orang-orang Anshar pemberian mereka, jilid 5, hlm. 162.
[14] Muslim, Kitab: Keutamaan-keutamaan para sahabat, Bab: Di antara keutamaan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, jilid 7, hlm. 159.
[15] Bukhari, Kitab: Nikah, Bab: Resepsi perkawinan itu adalah hak (benar), jilid 11, hlm. 138.
[16] Muslim, Kitab: Keutamaan-keutamaan para sahabat, Bab: Di antara keutamaan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, jilid 7, hlm. 160.
[17] Bukhari, Kitab: Nikah, Bab: Hadiah untuk pengantin lelaki, jilid 11, hlm. 134. Muslim, Kitab: Nikah, Bab: Perkawinan Zainab binti Jahasy, jilid 4, hlm. 150. Riwayat ini menurut versi Muslim.
[18] Muslim, Kitab: Nikah, Bab: Keutamaan memerdekakan budak perempuan kemudian mengawininya, jilid 4, hlm. 147.
[19] Bukhari, Kitab: Shalat, Bab: Apa yang disebutkan mengenai paha, jilid 2, hlm. 25. Muslim, Kitab: Nikah, Bab: Keutamaan memerdekakan budak perempuan kemudian mengawininya, jilid 4, hlm. 145.
[20] Muslim, Kitab: Minuman, Bab: Boleh mengajak orang lain ke rumah orang yang diyakini tidak akan merasa keberatan akan hal itu, jilid 6, hlm. 120.
[21] Bukhari, Kitab: Manaqib, Bab: Tanda-tanda kenabian dalam Islam, jilid 7, hlm. 399. Muslim, Kitab: Minuman, Bab: Boleh mengajak orang lain ke rumah orang yang diyakini tidak akan merasa keberatan akan hal itu, jilid 6, hlm. 118.
[22] Bukhari, Kitab: Jenazah, Bab: Hal yang terlarang mengenai meratap dan menangis dan bolehnya membentak karena perbuatan tersebut, jilid 3, hlm. 420. Muslim, Kitab: Jenazah, Bab: Larangan keras meratap, jilid 3, hlm. 46.
[23] Bukhari, Kitab: Ilmu, Bab: Malu dalam menuntut ilmu, jilid 1, hlm. 239. Muslim, Kitab: Haid, Bab: Kewajiban mandi atas wanita tersebut, jilid 1, hlm. 172.
[24] Muslim, Kitab: Haid, Bab: Anjuran menggunakan kapas yang diberi minyak wangi pada tempat yang terkena darah bagi wanita haid ketika mandi, jilid 1, hlm. 180.
[25] Bukhari, Kitab: Manaqib orang Anshar, Bab: Manaqib Abu Thalhah Radhiyallahu ‘Anhu, jilid 8, hlm. 180. Muslim, Kitab: Jihad Bab: Kaum wanita ikut berperang bersama kaum pria, jilid 5, hlm. 196.
[26] Hadits mengenai keikutsertaan Ummu Sulaim pada Perang Khaibar sudah disebutkan sebelumnya dimana Ummu Sulaim mempersiapkan Shafiyyah untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika mereka dalam perjalanan pulang.
[27] Muslim, Kitab: Jihad dan peperangan, Bab: Kaum wanita ikut berperang bersama kaum pria, jilid 5, hlm. 196.
[28] ibid.

Dikutip dari http://hasanalbanna.com/

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Seni Islam

More on this category »
Sirah

More on this category »
Tokoh

More on this category »
'Aqidah

More on this category »
 
Copyright © 2011. infoduniaislam . All Rights Reserved
Template modify by Creating Website. Inspired from CBS News